Saya
percaya pada beberapa orang praktisi bisnis yang notabene mereka adalah
pebisnis-pebisnis sukses yang mengatakan “Bisnis bukan hanya sekedar untuk bisnis,
bisnis mestinya bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi banyak orang”, bisnis
yang mengejar profit semata tidak akan bermanfaat abadi, meskipun sesungguhnya
profit menjadi penting bagi keberlangsungan perusahaan.
Apabila
dicermati, maka sesungguhnya bisnis bukan sekedar menghasilkan nilai nominal
rupiah, melainkan ada NILAI yang utuh (values) melebihi dari sekedar nilai
nominal. Ya saya sependapat dengan anda soal values (tata nilai). Values sendiri dapat dibedakan kedalam means (tata cara, proses) atau ends (ujuan, akhir, goals). Values
adalah nilai standar yang dipakai untuk membedakan antara cara terbaik/lebih
baik dengan sesuatu yang kurang baik atau buruk (Zigami, O’ Connor, Blanchard
& Edenburn, 2005).
Cukup banyak definisi Values yang semuanya tentu saja soal tata nilai Values
adalah kumpulan jati diri, niat, dan pedoman terbaik yang bisa dipikirkan oleh
masing-masing orang. Percaya atau tidak, beberapa perusahaan raksasa di dunia yang eksis berpuluh-puluh tahun lamanya
tentu saja melewati fase turbulensi baik tensi internalnya maupun tensi
politik. Lalu apa yang membuat mereka tetap bertahan bahkan berkembang? Tentu
saja mereka tidak mengabsenkan values, mentransformasi values. Senantiasa melakukan Inovasi values yang
pada akhirnya membentuk Corporate Culture
yang unggul.
Inovasi
Values, pentingkah?
Implementasi values dalam bentuk perilaku adalah
harapan semua organisasi yang berharap mencapai performa tinggi. Tapi dalam
kenyataannya, banyak organisasi yang belum memiliki nilai-nilai. Tidak adanya
nilai-nilai yang disepakati bersama menjadikan pemangku kepentingan tidak memiliki
panduan dalam berperilaku, tidak tahu mana yang boleh dan tidak boleh
dikerjakan dalam menjalankan organisasi.
Ada juga organisasi yang sudah
memiliki nilai-nilai tapi inkonsistensi dalam penerapannya, ada elemen
organisasi yang belum menerima dan belum merasa memiliki. Salah satu sebabnya
adalah karena organisasi meminta konsultan membuatkan nilai-nilai tanpa
melibatkan elemen tersebut. Kondisi ini diperburuk lagi dengan tidak adanya
proses identifikasi, sosialisasi, implementasi, dan reinforcement dari shared values tersebut. Nilai-nilai
hanya digunakan sebagai hiasan di buku saku dan dinding kantor tapi tidak
menjadi landasan dalam berfikir dan berperilaku karena tidak terinternalisasi
secara kontinuitas..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar